MERAMU INDONESIA: INDAHNYA HIDUP DI BANGSA YANG MAJEMUK
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Meramu
Indonesia: Indahnya Hidup Di Bangsa Yang Majemuk” dengan tepat pada waktunya.
Melalui
Makalah ini hendaknya dapat memotivasi pelajar untuk senantiasa mencari dan
menemukan ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Serta dapat
melatih kemampuan pelajar dalam melakukan aktifitas-aktifitas menulis dan
kegiatan positif lainnya.
Saya
menyadari bahwa dalam penulisan dan isi dari makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan, olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya membangun,
tetap saya harapkan demi kesempurnaan karya berikutnya.
Semoga makalah
ini kelak dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Depok,
04 Oktober 2015
Penulis
MERAMU INDONESIA: INDAHNYA HIDUP DI
BANGSA YANG MAJEMUK
Oleh:
Jesica Suyanto
Indonesia
patut bersyukur, kekayaan yang tak ternilai harganya dipersembahkan semesta
kepada Negara ini. Tidak dapat dipungkiri, sebagai Negara maritim yang sebagian
wilayahnya berbentuk kepulauan, Indonesia
dipenuhi oleh warna-warni bahasa, kekayaan alam, suku, adat istiadat, dan agama. Telah menjadi
kenyataan historis bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Dari sisi agama,
pluralitas bangsa ini tercermin dari adanya sejumlah agama yang dianut oleh
penduduk Indonesia antara lain, Hindu, Budha, Islam, Protestan, Katolik, dan
Khonghucu serta kepercayaan lainnya. Sungguh terdapat banyak kepercayaan yang
berasal dari agama-agama itu sendiri. Kemajemukan ini jelas merupakan anugerah
Tuhan yang harus disyukuri. Karena mengingkari kemajemukan berarti mengingkari
kehendak Tuhan[1].
Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan identitas Indonesia sebagai bangsa
yang menerapkan nilai Pancasila mulai memudar. Implementasi sila pertama pada
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” seakan terabaikan. Demikian halnya,
berbagai praktek pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan diskriminasi atas nama
perbedaan etnis, agama, ras, dan gender masih merupakan fakta konkrit di
masyarakat, masalah ini terungkap sangat jelas menurut beberapa konferensi yang
sering diadakan mengenai permasalahan Republik Indonesia (RI)[2].
Agama
melalui kitab sucinya, diyakini sebagai sumber perdamaian. Namun, manakala ia
dijadikan justifikasi atas peristiwa-peristiwa kekerasan di muka bumi oleh
masing-masing penganutnya, sudah sewajarnya dipertanyakan kembali esensi pesan
agama tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkannya, karena manusia
mengidentikkan diri dengan agamanya, bahkan mau memaksakan agamanya supaya ia
dipandang benar di mata Tuhan-nya dan manusia lain[3].Émile Durkheim mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci[4]. Artinya seseorang yang
beragama seharusnya menghidupkan tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan lingkungannya. Dari zaman reformasi sampai sekarang kebebasan dalam
berpendapat dan berpolitik makin meluas. Kebebasan tersebut kemudian membuat
kelompok apapun, termasuk kelompok agama berhak menyuarakan pendapat. Namun,
kebebasan yang terkadang tidak terkendali membuat pertentangan muncul, bahkan
pertentangan antar agama dan kehidupan beragama[5].
Semua
agama mengajarkan tentang kebaikan dan hidup tentram. Tanpa disadari kelima
sila Pancasila sudah mencerminkan ajaran-ajaran agama tersebut. Kebebasan yang
sebebas-bebasnya sudah menidurkan bangsa Indonesia. Sejak menempuh pendidikan
Sekolah Dasar generasi muda di ajar untuk menghafal dan menyebutkan Pancasila
berulang-ulang dalam upacara bendera. Apakah peran kita sebagai generasi
penerus bangsa yang telah membanggakan diri dengan mengatakan sila-sila
Pancasila namun tidak diaktualisasikan dalam perbuatan konkret? Tidak mudah
untuk mewujudkan kembali mimpi-mimpi pahlawan kita yang retak-retak namun apa
gunanya Indonesia menghasilkan generasi muda jika tidak turut mengambil andil dalam meneruskan
perjuangan yang selama ini telah ditempuh nenek moyang kita. Soekarno
mengatakan "Beri Aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncang Dunia!" Kalimat
ini bukan hanya ucapan belaka namun seharusnya kita sebagai generasi muda harus
merealisasikannnya. Oleh karena itu generasi muda harus meramu Indonesia
sehingga menciptakan toleransi dan kehidupan yang rukun antarumat beragama.
Dalam Landasan Konstitusional UUD 1945 Pasal
29 ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya”, ini merupakan salah satu landasan yang jelas dalam hak setiap
Rakyat Indonesia untuk beragama. Tujuan dari landasan berikut adalah untuk
meningkatkan kerukunan, ketertiban dan kedamaian hidup dalam masyarakat,
sehingga tujuan hidup akan terwujud secara bersama-sama[6].Bhineka tunggal Ika sebagai
ikon pemersatu bangsa Indonesia ini di salah asumsikan oleh masyarakat.
Indonesia dianggap sebagai bangsa yang majemuk, majemuk dianggap tidak sehat
dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai
kerusuhan berbias etnis maupun agama. John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali
menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society).
Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang
memiliki loyalitas terhadap masyarakat secara keseluruhan, kurang memiliki
homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu sama lain[7].
Kekerasan agama sudah menjamur di Indonesia sampai tahun terakhir ini.
Penyelewangan agama ini membuat paradigma masyarakat mengenai identitas agama
di Indonesia sebagai lembaga ekstrim yang memaksakan para pengikutnya untuk
mengabarkan ajaran-ajarannya dengan ancaman bahkan berbagai kekerasan lainnya.
Kita melupakan bahwa Agama bertujuan untuk menjadikan setiap pemeluknya menjadi
individu yang mulia. Hal itu tercermin dari komitmen ajaran-ajarannya yang
menghendaki kedamaian dan anti kekerasan. Persoalannya kemudian, mengapa
perilaku kekerasan justru kerap dilakukan oleh orang atau kelompok orang yang
notabene beragama?[8].
Toleransi berasal dari bahasa Latin tolerare artinya menahan diri, bersikap
sabar, membiarkan orang berpendapat dan berhati lapang terhadap orang-orang
yang memiliki pendapat berbeda. Toleransi biasa juga diartikan sebagai sikap
terbuka dan saling menghormati terhadap perbedaan[9]. Ledakan bom di Mega Kuningan yang
meluluhlantahkan hotel berbintang JW Marriott dan Ritz Carlton, sangat menyedot
perhatian publik. Sorotan terhadap aksi terorisme pun tidak dapat disangkal lagi. Dan memang terbukti hal itu adalah aksi
dari pada terorisme. Aksi ini juga dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) di Sukorejo,
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dalam kasusnya menabrak warga setempat, FPI juga merusak
toko-toko dan beberapa diskotik yang berada di daerah Makassar, Sulawesi
Selatan. Wakil
Presiden RI pada periode 2004-2009 M Jusuf Kalla (JK) menilai, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) cukup kuat bagi
pemerintah untuk menindak Front Pembela Islam (FPI) atas pelanggaran yang kerap
dilakukannya[10].Opini publik pun mengarah kepada
para radikalis Islam yang mana mempunyai jaringan teroris. Islam sebagai agama
diakui oleh para teroris sebagai legitimasi pembenaran aksi terorisme mereka. Tidak aneh jika Islam
kini menjadi sorotan [11].Kasus-kasus
seperti ini sudah sering terjadi dalam komunitas Ahmadiyah. Sejumlah pemerintah
daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota telah bertindak lebih jauh dan lebih
keras terhadap komunitas Ahmadiyah dari SKB tahun 2008. Sejauh ini sudah ada 19
peraturan yang dikeluarkan gubernur, bupati/walikota, atau kepala kantor di
tingkat Pemda terkait Ahmadiyah sepanjang Januari-Oktober 2011. Dalam kasus
konflik rumah ibadah, khususnya kasus GKI Taman Yasmin yang terus
berlarut-larut sampai mengundang perhatian internasional, juga menunjukkan tren
pemerintah daerah bertindak lebih keras dibanding pemerintah pusat. Ketika
segelintir rumah ibadah mengalami masalah bahkan diserang, yang hilang bukan
hanya segelintir rumah ibadah itu, tetapi rasa aman. Apalagi jika penyebabnya
beragam dan tak selalu jelas. Demikian pula ketika masjid di Cirebon atau
gereja di Solo kedatangan seorang pembom bunuh diri, tanpa alasan jelas kenapa
dua rumah ibadah itu yang dipilih[12].
Generasi muda adalah kelompok sosial yang
sedang dalam proses mencari identitas. Oleh karena itu, generasi muda perlu
memperoleh panduan dalam membentuk pengalaman baru tentang tata cara hidup
berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh keyakinan terhadap ajaran agama
masing-masing[13].
Salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan menumbuhkan kembali
nilai-nilai yang terkandung dalam makna demokratis dalam jiwa bangsa kita.
Terutama kepada generasi penerus bangsa agar mereka tidak terkontaminasi oleh
kebiasaan-kebiasaan negatif yang mengekspresikan ”kebebasan dalam demokrasi”.
Wadah yang paling cocok sebagai tempat untuk menanamkan dan menyadarkan nilai
demokrasi adalah melalui pendidikan[14]. Pendidikan agama di
sekolah dapat menjadi media yang tepat bagi orangtua untuk menjaminkan karakter
anaknya dimasa mendatang. Buah hati bangsa Indonesia yaitu generasi muda
diharapkan untuk memiliki kesadaran akan pentingnya menghormati maupun
menghargai antar pemeluk agama, status sosial, menciptakan persatuan dan
kesatuan rasa nasionalisme. Indahnya harmonisasi ketika sikap toleransi
dimiliki oleh setiap orang. Setiap ada kesusahan, masyarakat saling membantu
untuk menyelesaikannya. Ironisnya pendidikan agama di jadikan momok yang
formalistik, ritualistik, legalistik, dan intelektualistik hanya terfokus pada
kegiatan dan kerajinan melaksanakan ibadah serta menguasai rumusan-rumusan
ajaran agamanya sendiri, tanpa memperhatikan pertumbuhan spiritualitas anak
bangsa, dengan begitu masyarakat cenderung doktriner karena lebih menekankan
ranah kognitif daripada ranah afektif dan psikomotor[15]. Seseorang dianggap toleran
apabila ia menghargai hak-hak orang lain untuk mempertahankan dan menjalankan
kepercayaan agamanya. Ia bisa saja menganggap bahwa hanya kepercayaannya yang
benar sedangkan yang lain salah, namun ia di anggap toleran apabila ia mengakui
bahwa semua orang mempunyai hak untuk mempertahankan pendapat agamanya[16].
Pada usia dini 0-6 tahun, otak
berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan
menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah
masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan
mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai
masa-masa emas anak (golden age). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang
ahli Perkembangan dan Perilaku Anak dari Amerika bernama Brazelton menyebutkan
bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun pertama kehidupannya sangat
menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya
dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam
pekerjaannya. Oleh karena itu, hendaknya kita memanfaatkan masa emas generasi
muda untuk memberikan pendidikan karakter yang baik[17].
Melalui pendidikan agama generasi
muda dikatakan berhasil apabila telah memiliki karakter yang berprinsip pada
hal-hal yang positif. Pendidikan karakter adalah salah satu hal yang sederhana
karena kata ‘karakter’ adalah semua pengembangan diri siswa dalam interaksi
belajar hingga awal dan berakhirnya proses pengajaran bisa tercapai pembentukan
siswa yang berkarakter.
Pendidikan karakter di sekolah
sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam
keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari
keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya[18].
Adapun Pendidikan karakter memiliki beberapa fungsi, diantaranya : pendidikan
karakter dapat membentuk dan mengembangkan potensi yang ada dalam masing-masing
anak agar berpola pikir yang baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah
hidup Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter generasi
muda yang bersifat negatif, tentunya pemerintah harus berpartisipasi serta
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara Indonesia
menuju bangsa yang berkarakter. Selain itu, pendidikan karakter berfungsi
memilih nilai-nilai budaya bangsa itu sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya
bangsa lain yang positif untuk menjadikan manusia yang berkarakter sehingga
menjadi bangsa yang bermartabat[19].
Namun yang menjadi permasalahan, beberapa orang tua dan guru sekarang ini lebih
mementingkan aspek kecerdasan otak anak daripada pendidikan karakter.
Bagaimana cara untuk membangun
karakter generasi muda melalui pendidikan agama?
Sejauh ini, pemerintah telah
berusaha menyempurnakan kurikulum di tahun 2013 dan telah diterapkan di
beberapa wilayah-wilayah di Indonesia dengan sistem pendidikan karakter bangsa.
Dalam pembukaan UUD tahun 1945 mengamanatkan bahwa pembentukan Pemerintah
Negara Indonesia yaitu antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (3)
memerintahkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang. Perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang merupakan produk undang-undang pendidikan pertama pada awal abad
ke-21. Undang-undang ini menjadi dasar hukum untuk membangun pendidikan
nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, dan otonomi
pendidikan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pendidikan yang ditetapkan
pemerintah mempunyai visi yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah[20].
Jadi, jelas bahwa UU pemerintah memberdayakan guru-guru di sekolah yang mampu
mewujudkan visi dan amanah ini. Tetapi pada kenyataannya, masih saja percik api
perselisihan. Karena itu sistem pedidikan di Indonesia perlu dievaluasi secara
berkesinambungan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
globalisasi.
Upaya yang perlu ditingkatkan dalam
sistem pendidikan adalah :
(a)Pengoptimalan tingkat kesadaran
ideologi bangsa. Kesadaran terhadap ideologi bangsa harus dibangkitkan dan
ditingkatkan. Nilai-nilai utama Pancasila yang berisi nilai-nilai ketuhanan,
keilmuan dan kebangsaan harus ditanamkan, dipupuk dan disemai dalam jiwa
segenap generasi muda sedini mungkin melalui berbagai upaya yang dilakukan secara
terprogram, bertahap dan berkesinambungan. Generasi muda harus memiliki tingkat
kesadaran yang tinggi terhadap ideologi bangsa yaitu Pancasila. Dengan
tingginya tingkat kesadaran terhadap ideologi Pancasila, generasi muda akan
mampu memainkan peranannya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
(b)Terwujudnya landasan pedagogis
untuk menanamkan kesadaran nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Bangsa
Indonesia perlu mengembangkan landasan
pedagogis untuk menanamkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa.
(c)Terwujudnya kolaborasi antar
komponen bangsa dalam upaya menanamkan kesadaran nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa. Kolaborasi antar komponen bangsa yang terdiri dari: orang tua,
masyarakat, lembaga pendidikan, media massa, dan lembaga agama harus segera
diwujudkan, sehingga tercapai kesamaan visi dan misi dalam menanamkan kesadaran
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa[21].
Tidak
dapat dipungkiri, penyebab kemajemukan dalam Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh budaya luar. Era globalisasi membawa pengaruh yang baik dan buruk
terhadap keadaan suatu bangsa dan generasi. Oleh karena itu, sebagai generasi
yang akan membawa masa depan Indonesia, haruslah mampu menyaring pengaruh buruk
globalisasi dan memanfaatkan pengaruh yang baik. Meskipun globalisasi selalu
identik dengan modernisasi, Indonesia tidak boleh melupakan dasar negara, yaitu
Pancasila dalam setiap aspek kehidupan maupun pemerintahan negara. Karena
Pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa Indonesia yang paling realistis.
Generasi muda harus mampu menempatkan pancasila sebagai dasar hukum tertinggi
Indonesia[22]
tanpa mengabaikan untuk tetap menanamkan dan merawat nilai-nilai spiritual
dalam masyarakat.
Perbedaan
tidak dapat dipandang sebagai pemicu terjadinya perpecahan. Terlebih ketika itu
menyangkut agama. Sebuah keyakinan yang membawa perdamaian pada setiap
ajarannya. Maka sudah sepatutnya, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk
memandang perbedaan tersebut sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Generasi
yang menjadi penerus masa depan bangsa sudah sewajarnya mempersiapkan sejak
dini solusi atas permasalahan konflik keagamaan yang santer tejadi. Maka dengan
memaknai indahnya toleransi, generasi muda siap meramu Indonesia menjadi lebih
damai dan rukun.
[1]Dr.Phil. Zainul
Fuad : “Kontribusi Agama Dalam Menciptakan Harmonitas Sosial” http://sumut.kemenag.go.id diakses tanggal
12 September 2013
[2]Tembi.net:
“Konferensi Nasional Jaringan Antariman Di Indonesia"Agama-Agama Untuk
Keadilan Dan Perdamaian
Di
Negara Republik Indonesia"http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/konferensi-nasional-jaringan-antariman-di-indonesia-1842.html diakses tanggal 8
September 2013
[3]Prof. Dr. Olaf H.
Schumann “Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian” (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005 )
[4]Wikipedia : “Emile
Durkheim” http://en.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_Durkheim diakses tanggal 8
September 2013
[5]Sindonews.com :
“Pancasila,Agama Miliki Keterkaitan Kuat” http://sports.sindonews.com/read/2013/01/29/12/712148/pancasila-agama-miliki-keterkaitan-kuat diakses tanggal 8
September 2013
[6]Budi Ardiansyah,
Tumbuhnya Toleransi Melalui Persahabatan (Jakarta : Intimedia, 2010) halaman 14
[7]Tafsiran Furnivall
oleh Nasikun dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,
2006) halaman 39-40
[8]DR. Zirmansyah dan
Tim Peneliti Puslitbang, Pandangan Masyarakat Terhadap Tindak Kekerasan Atas
Nama Agama (Jakarta : Maloho Jaya Abadi Press, 2010) halaman 2
[9]Budi Ardiansyah,
Tumbuhnya Toleransi Melalui Persahabatan (Jakarta : Intimedia, 2010) halaman
9-10
[10]Kompas.com : “JK:
FPI Bisa Ditindak dengan UU Ormas” http://kompas.com diakses tanggal 8
September 2013
[11]Majelis Alumni IPN:
“Menyibak Kekerasan Berkedok Agama” http://majelis-alumni-ipnu.org/index.php?option=com_content&view=article&id=351:menyibak-kekerasan-berkedok-agama&catid=5:resensi-buku&Itemid=13 diakses tanggal
12 September 2013
[12]CRCS UGM, Siaran
Pers Peluncuran Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 :
“Problemnya Bukan Hanya Jumlah Kekerasan, Tetapi Hilangnya Rasa Aman!” http://crcs.ugm.ac.id/news/765/Problemnya-Bukan-Hanya-Jumlah-Kekerasan-Tetapi-Hilangnya-Rasa-Aman.html diakses tanggal
12 September 2013
[13]Badan Kesatuan
Bangsa dan Limnas Provinsi DIY : “Forum Dialog Generasi Muda Lintas Agama 7
Maret 2012”http://www.kesbanglinmas.jogjaprov.go.id/content/view/70/10 diakses
tanggal 12 September 2013
[14]Nur Laili
Fitriyah, Dosen Tetap Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Maulanan Malik Ibrahim
Malang : “Membangun Pembelajaran Demokratis Berwawasan Multikultural”
(Madrasah, Vol. 5 No. 1 Juli-Desember 2012) halaman 3
[15]S.Belen,
Pendidikan Regiolitas di Sekolah (Jakarta : Depdiknas, 2006) halaman 3
[16]Dr.Phil. Zainul
Fuad : “Kontribusi Agama Dalam Menciptakan Harmonitas Sosial” http://sumut.kemenag.go.id diakses tanggal
12 September
[17]
Pendidikankarakter.com :” Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini”
http://www.pendidikankarakter.com/membangun-karakter-sejak-pendidikan-anak-usia-dini
diakses tanggal 14 September 2013
[18] Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI : “Kurikulum Pendidikan Yang Berkarakter”
http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/jurnal-kediklatan/545-kurikulum-pendidikan-yang-berkarakter.html
diakses tanggal 14 September 2013
[19] Bety Indrajayanti
(Mahasiswa Hukum dan Sipil di UNY) :“Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda di
Era Globalisasi“
http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/24/pendidikan-karakter-bagi-generasi-muda-di-era-globalisai-562722.html
diakses tanggal 14 September 2013
[20] Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan, Dokumen Kurikulum 2013 (Jakarta : Kemdikbud, 2012)
halaman 1
[21] STTAL : “Konsepsi
Pembinaan Karakter Generasi Muda Guna Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia” http://www.sttal.ac.id/html/index.php?id=artikel&kode=2 diakses
tanggal 14 September 2013
[22] Alfi nur aini : “Peran Pancasila dalam Pandangan generasi
Muda di Era
Global”http://alphiee-s.blogspot.com/2012/04/peran-penting-pancasila-dalam-pandangan.html
diakses tanggal 15 September 2013
Komentar
Posting Komentar