Aspek Hukum dalam Pembangunan (Point 10,11,12,13)
ASPEK PERSEROAN,PERBANKAN,PERASURANSIAN,
DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
Aspek-aspek
Keuangan/perbankan yang penting dalam kontrak kontruksi antara lain :
Perseroan terbatas
atau biasa dikenal dengan istilah PT adalah suatu persekutuan untuk menjalankan
usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham yang pemiliknya memilki
bagian sebanyak saham yang dimilkinya, karena modalnya terdiri dari saham-saham
yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan
tanpa perlu membubarkan perusahaan. Perseroan terbatas pada zaman dahulu
dikenal dengan sebutan Naamloze Vennootschaap (NV) atau Corporate Limited,
serikat dagang benhard (SDN BHD).
Perseroan Terbatas (PT) merupakan
salah satu bentuk usaha yang diakui di Indonesia. Keberadaannya menjadi penting
dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, sehingga pemerintah pun
mengeluarkan undang-undang yang khusus mengenai PT.
Organ PT berarti organisasi yang
menyelenggarakan perusahaan (PT) yang pada dasarnya terdiri dari RUPS, Direksi
dan Dewan Komisaris. Masing-masing organ memiliki fungsi dan perannya
sendiri-sendiri. Secara sederhana, struktur organ PT dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS adalah organ
perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan undang-undang ini dan atau anggaran
dasar.
2. Direksi perseroan
Direksi adalah
organ perseroan yang wewenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar persidangan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
3. Dewan Komisaris Perseroan
Adalah organ
perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/ atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.
Perbankan.
Berdasarkan ketiga
pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa bank adalah usaha yang berbentuk lembaga keuangan yang menghimpun dana
dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (lack of fund),
serta memberikan jasa-jasa bank lainnya untuk motif profit juga sosial demi meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Apasih fungsi dari
perbankan?
Menurut
Budisantoso (2006:9) secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent
of trust, agent of development, dan agent of services.
a. Agent of trust
Dasar utama
kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana
maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya di bank apabila
dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan
disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan
bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik
kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan
dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur
kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan
pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh tempo, dan debitur
mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada
saat jatuh tempo.
b. Agent of
Development
Kegiatan
perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat
dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter
tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran
dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil.
Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi,
kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa
kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya
penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini
tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of
Service
Di samping
melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan
penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa ditawarkan bank ini
erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa ini antara lain
dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan
bank, dan penyelesaian tagihan.
Asuransi Contractor All Risk (C.A.R)
adalah asuransi yang menjamin kerugian financial akibat kerusakan fisik dari
pekerjaan sipil yang sedang dipasang atau dipekerjakan. Sesuatu yang dapat dipertanggungkan dalam Asuransi (CAR), yaitu semua jenis pekerjaan sipil engginering, misalnya:
1.
Pekerjaan Pembangunan Ruko, Kantor, Sekolah, Kampus, dll
2.
Pekerjaan Pabrik, Kawasan Industri, dll
3.
Pembangunan Gedung Bertingkatseperti Hotel, Apartemen, Plaza, dll
4.
Pembangunan Terowongan, Jalan, dan pekerjaan SIPIL lainnya
Dalam risk management,
pengelolaan suatu risiko dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu risk
avoidance/penghindaran risiko, risk reduction /penurunan risiko, risk
retention/menahan risiko, risk sharing/membagi risiko; dan risk
transfer/mengalihkan risiko. Bentuk pengalihan risiko dalam pekerjaan
konstruksi adalah melalui sisten asuransi. Asuransi merupakan perjanjian antara
dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar
penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
1.
Memberikan
penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti.
2.
Memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (Undang –
undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian)
Secara gamblang, UU Jasa Kontruksi
menyatakan bahwa penyedia jasa konstruksi, baik perencana kostruksi, pelaksana
konstruksi maupun pengawas konstruksi, bertanggung jawab atas hasil pekerjaan
di mana pertanggungjawaban tersebut dapat menggunakan mekanisme
pertanggungan. Construction all risk insurance, professional
liability insurance dan professional indemnity
insurance merupakan jenis asuransi yang dijelaskan dalam UU Jasa
Konstruksi. Dalam praktik, terdapat beberapa jenis asuransi lain yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pekerjaan konstruksi seperti
namun tidak terbatas pada Cargo Insurance, Installation All Risk
Insurance.
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Adapun subjek pajak jasa konstruksi
itu sendiri antara lain orang pribadi, badan, atau bentuk usaha tetap (BUT)
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi maupun
sub-nya. Penghasilan terkait usaha jasa konstruksi ini tentunya dikenakan
Pajak. Pajak yang dikenakan adalah Penghasilan yang bersifat Final yaitu PPh
pasal 4 ayat 2 UU PPh.
Adapun saat terutangnya pajak penghasilan ini adalah pada saat pembayaran
atas jasa konstruksi tersebut. Lalu, berapa tarif pajak yang dikenakan atas
penghasilan jasa konstruksi ini? Untuk Jasa pelaksana konstruksi,tarifnya
adalah sebagai berikut:
·
2% dari DPP untuk penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
·
4% dari DPP untuk Jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha.
·
3 % dari DPP untuk Jasa selain dua
kategori diatas, antara lain penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah
atau kualifikasi usaha besar.
Sedangkan tarif untuk Jasa Perencanaan maupun pengawasan
jasa kontruksi adalah sebagai berikut:
·
4% dari DPP untuk Jasa yang memiliki kualifikasi usaha
·
6% dari DPP untuk Jasa yang tidak memilki kualifikasi usaha
Adapun Dasar Pengenaan Pajak (DPP) tersebut adalah sebesar
Jumlah Pembayaran (tidak termasuk PPN) jika dipotong oleh pemotong pajak atau
sebesar Jumlah Penerimaan Pembayaran (tidak termasuk PPN) apabila disetor
sendiri oleh penyedia jasa.
Kapan pembayaran atau penyetoran pajaknya? Pembayaran atau penyetoran
Pajak Terutangnya adalah sebagai berikut:
Jika
pengguna jasa adalah Pemotong Pajak, maka : (1) Dipotong PPh Final
pada saat pembayaran; (2) Pemotong Pajak Penghasilan memberikan bukti
pemotongan kepada penyedia Jasa setiap melakukan pemotongan dan (3) Disetor
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah pemotongan.
Jika
pengguna jasa bukan Pemotong Pajak, maka Disetor sendiri oleh
penyedia jasa paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah penerimaan
pembayaran.
Untuk kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 atas
Jasa Konstruksi baik pengguna jasa ataupun penyedia jasa batas waktunya adalah
paling lama 20 hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak atau penerimaan
pembayaran.
Perlu diketahui, dijelaskan pada Pasal 6 PP no.51 Tahun
2008 yang diubah terakhir dalam PP 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dalam hal terdapat selisih kekuarangan
PPh terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh berdasarkan
pembayaran yang telah dipotong atau disetorkan sendiri maka selisih kekurangan
tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Dalam hal Nilai kontrak Jasa
Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa
Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang PPh, dengan
syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat
sebagai piutang yang tidak dapat ditagih, namun apabila piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut nantinya dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
ASPEK
AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
1. Pengertian
Agraria
Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata
bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (bahasa Inggris
acre). Kata bahasa Latin
aggrarius meliputi
arti yang ada hubungannya
dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata
reform merujuk
pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju
perbaikan. Dengan demikian reforma agraria
dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan,
penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil,
penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun).
Sementara pengertian reforma agraria
yang
lebih lengkap (Tuma, 1965)
adalah suatu upaya
sistematik,
terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan
dan keadilan sosial serta
menjadi
pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan yang dimulai dengan langkah menata ulang
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan
produktivitas petani khususnya dan
perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007).
Landreform atau Reforma Agraria, istilah landreform pertama kali dicetuskan oleh
Lenin dan banyak digunakan di negara komunis atau blok timur pada saat itu
dengan adagium “land to the tiller”
untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah,
untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003).
Tentu saja
pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di Indonesia. Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56
Prp Tahun 1960 merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu
meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk
menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan
yang terdapat dalam struktur pertanahan (Hermawan, 2003). Sementara dalam PP
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian, dijelaskan bahwa landreform bertujuan
mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat
dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.
Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan
antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum
mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan
kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial,
produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian
harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” (Utami,
2013).
Pelaksanaan memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan
kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi,
sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan
tanah tidak landreform dengan
demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian
yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah (Utami, 2013).
Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah membantu
petani meningkatkan kesejahteraannya.
Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya
konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam
pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang
didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan
sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma
agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.
Tuma (1965)
menyimpulkan bahwa “landreform” dalam
pengertian luas akhirnya dapat disamakan
dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk
mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di
atas. Jadireforma agraria dapat
diartikan sebagai landreform plus
(Bachriadi, 2007).
Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan,
terutama ketika corak dan sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan
Bahari, 2012), adalah keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa
keadilan dan pemerataan.
Reforma
agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform
merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai
lapisan masyarakat di pedesaan.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat
dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada
dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada
peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi. Sementara penataan aset produksi
malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses
terhadap tanah.
Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik
berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya
penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana,
tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya
berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah
seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin,
2012).
Menjadi suatu keniscayaan kemudian untuk
melaksanakan reforma agraria sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah sebagai sumber utama permasalahan, yang pada akhirnya bermuara
pada pengurangan kemiskinan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.
2. Konsep
dan Implementasi
Berdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960,
terdapat 6 (enam) elemen pokok program Landreform,
yaitu:
a.
Pembatasan
pemilikan maksimum
b.
Larangan
pemilikan tanah absentee
c.
Redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum,
tanah absentee, tanah bekas swapraja
dan tanah negara lainnya
d.
Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah
pertanian yang digadaikan
e.
Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah
pertanian
f.
Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian,
disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah
pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).
Dalam perjalanannya, program landreform ini berkembang dan akhirnya menjelma menjadi Program
Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)yang seringkali disebut juga sebagai landreform plus karena mempunyai 2 (dua)
pilar yaitu reforma aset (landreform)
dan reforma akses.Reforma aset merupakan upaya redistribusi tanah sebagaimana
yang selama ini dikenal sebagai landreform,
dan reforma akses sebagai kegiatan pelengkap/penunjang redistribusi aset untuk
memastikan terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan
modal, pendampingan, dan penyediaan teknologi pertanian. Ciri khas dari PPAN
yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset
(pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Kegiatan ini juga
melibatkan lintas sektor.
Strategi dasar PPAN yang ditetapkan oleh BPN (2007)
adalah (i) penataankonsentrasi aset dan tanah terlantar melalui penataan
politik dan hukum pertanahan berdasar Pancasila, UUD 1945 dan UUPA; (ii)
mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek) untuk rakyat
(subyek).
Untuk itu, pelaksanaan program ini mencakup 4
(empat) lingkup kegiatan, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme
distribusi aset, dan pengembangan reforma akses.
Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria
dari sejumlah sumber yaitu:
a.
tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai
b.
tanah yang terkena ketentuan konversi
c.
tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya
d.
tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan
e.
tanah obyek landreform
f.
tanah bekas obyek landreform
g.
tanah timbul
h.
tanah bekas kawsan pertambangan
i.
tanah yang dihibahkan oleh pemerintah
j.
tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah
k.
tanah yang dibeli oleh pemerintah
l.
tanah pelepasan kawasan hutan produksi konversi
m. tanah
bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.
Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel
pokok dalam menentukan kriteria yaitu (i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin,
minimal 18 tahun atau sudah menikah); (ii) khusus (bertempat tinggal atau
bersedia bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya, kemauan tinggi
mendayagunakan tanah); (iii) prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan
keluarga, lama bertempat tinggal dan mata pencaharian).
Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam
penentuan subyek penerima PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan
menetap di lokasi obyek PPAN;
(ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang
tidak memiliki tanah pertanian; (iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah
pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv) keempat, petani pelaku pertanian dalam arti
luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya;
(kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat
dipertanggungjawabkan (Shohibuddin, 2009).
Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma
agraria berdasarkan pada kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi)
dan obyek (tanah yang akan didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada
lokasi yang sama atau berdekatan, (ii)
ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu
memindahkan subyek ke lokasi tanah redistribusi; (b) obyek mendekati subyek.
Dikenal sebagai skema swap atau
pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank
tanah. Skema ini jauh lebih rumit.
3.
Struktur Agraria Dalam Pembangunan
Pembaharuan
agraria merupakan suatu perubahan besar dalam struktur agraria yang membawa
peningkatan akses petani pada lahan, serta penguasaan bagi mereka yang
menggarap lahan. Reforma agraria merupakan suatu persoalan yang sangat
dibutuhkan saat ini oleh masyarakat engan mengingat kebutuhan akan tanah sangat
meningkat untuk pembangunan sedangkan tanah itu sendiri adalah tetap.
Reforma agraria
merupakan salah satu alat atau cara yng efektif untuk mewujudkan keberhasilan
pembangunan, sebab akses terhadap tanah merupakan suatu yang sifatnya
fundamental bagi pembangunan sosial ekonomi, pengurangan kemiskikan, dan bagi
kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, selain sebagai faktor produksi,
tanah juga merupakan faktor kekayaan.
ASPEK
PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
KONSEP
DASAR PENATAAN RUANG
Konsep
penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada
beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara
luas bagi semua lapisan masyarakat.
Penyusuanan
rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.
Wawasan Nusantara dan
ketahanan Nasional
2.
Perkembangan
permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian
implikasi
penataan ruang nasional
3.
Upaya pemerataan
pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi
Aspek
lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional
adalah:
1.
Keselarasan aspirasi
pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
2.
Daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup;
3.
Rencana pembangunan
jangka panjang nasional;
4.
Rencana tata ruang
kawasan strategis nasional; dan Rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Tujuan
dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional, yaitu:
1.
Mewujudkan wilayah
nasional yang aman, maksudnya situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas
kehidupannya dengan terlindungi dariberbagai ancaman.
2.
Mewujudkan wilayah
nasional yang nyaman, yakni suatu keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan
(berperan mewujudkan atau mengaktualisasikan sesuatu dalam kehidupannya secara
nyta) nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
3.
Mewujudkan wilayah
nasional yang produktif, maksudnya proses produksi dan distribusi berjalan
secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
4.
Mewujudkan wilayah
nasional yang berkelanjutan, maksudnya kondisi kualitas lingkungan fisik dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk
mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya SDA tak terbarukan.
PERATURAN DALAM
PERANCANAAN KOTA
Menurut Prajudi
Atmosudirjo membedakan pengertian-pengertian kewenangan dan wewenang.
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan
terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat.
Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum
publik, misalnya wewenang menandatangani surat-surat izin seorang pejabat atas
nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri.
Adapun
yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam penataan ruang terdapat
dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdapat dalam Pasal 10, yang
berbunyi:
1.
Wewenang pemerintah
daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a.
Pengaturan, pembinaan,
dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi dan kabupaten/kota.
b.
Pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi
c.
Pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis provinsi, dan
d.
Kerja sama penataan
ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antar kabupaten/kota.
2.
Wewenang pemerintah
daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
Perencanaan tata ruang
wilayah provinsi
b.
Pemanfaatan
ruang wilayah provinsi, dan
Pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah provinsi
3.
Dalam penataan ruang
kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a.
Penetapan kawasan
strategis provinsi
b.
Perencanaan tata ruang
kawasan strategis provinsi;
c.
pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi; dan
d.
pengendalian pemanfaatan
ruang kawasan strategis provinsi.
4.
Pelaksanaan pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5.
Dalam rangka
penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi
dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi
dan kabupaten/kota.
6.
Dalam pelaksanaan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a.
menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan:
1)
rencana umum dan rencana
rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2)
arahan peraturan zonasi untuk
system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi; dan
3)
petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang;
b.
melaksanakan standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7.
Dalam hal pemerintah
daerah provinsi tidak dapat memenuhi standard pelayanan minimal bidang penataan
ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
HUBUNGAN
ANTARA ASPEK PENATAAN RUANG DAN
PERIZINAN
PEMBANGUNAN
PROYEK
Ruang
merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara
terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor
kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya
masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang
wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tata
ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam,
lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu
dengan lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik,
diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan
pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Jadi, Penataan ruang adalah
proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan
UUBG pasal 26
Ayat
(1)
menerangkan
bahwa izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas
ruang, dan tata banguna yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum
adat, dan kebiasaan yang berlaku. Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah
adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang ini.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang
mempunyai bukti hukum sah berupa perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang
dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak
lain.
Atas
dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin
terlebih dahulu karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan
pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat
dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah
Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki
IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b
UUBG).
Menurut
Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005, permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan, Tanda bukti status
kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah; Data
pemilik bangunan gedung; Rencana teknis bangunan gedung; dan Hasil analisis
mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan. Lalu
apa yang bisa terjadi kalau pemilik tidak memiliki ijin? Pemilik rumah
dapat dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin
mendirikan bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan
gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi
perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi
administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling
banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat
[2] UUBG). Tetapi bagaimana jadinya
jika ternyata gedung tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di
bangun. Maka peraturan yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG
Berdasarkan
Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:
“Bangunan
gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan pada
saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan
harus mendapatkan sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan
undang-undang ini.”
KONSEP
DASAR PENATAAN RUANG
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga)
kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang (gambar 1), dengan produk rencana tata ruang
berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hierarki terdiri dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW
Kab/kota). Penataan ruang dapat digambarkan seperti berikut:
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1 angka 13 UU Penataan Ruang, bahwa yang dimaksud dengan
perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang guna untuk
menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan
lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi sehingga
dihasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang (Pasal 14 UU
Penataan Ruang).
Pengertian
pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 UU yang sama adalah upaya
untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang
melalui penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaannya.1 Hal ini
mengindikasikan bahwa pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas
pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
mewujudkan rencana tata ruang yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah
upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (Pasal 1 angka 15 UU Penataan Ruang)
yang dilakukan melalui penetapan zonasi (peraturan zonasi merupakan ketentuan
yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsurunsur pengendalian yang disusun untuk
setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang),2 perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pengendalian
pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang untuk
meminimalisir adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga terjaga
kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan rencana
tata ruang.3 Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam
suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di wilayah Indonesia dengan
berpedoman pada UU Penataan Ruang sebagaimana dikatakan dalam Pasal 3 bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional
ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
CARA-CARA
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAN KONSTRUKSI
Konstruksi
merupakan aktivitas yang tidak sederhana, bersifat multidisiplin serta
dipengaruhi oleh banyak kepentingan. Tak heran apabila sengketa konstruksi
rentan terjadi. Di
bawah rezim Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme
penyelesaian sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur
pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di
luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan
pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi
kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar
pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase,
baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi,
konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU
Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja
Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak
yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam
Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi,
para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata acara
penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Adapun tahapan-tahapan penyelesaian
sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1. Para
pihak yang bersengketa terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2. Apabila
musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan
berdasarkan kontrak kerja konstruksi;
3. Apabila
penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan sebagai berikut:
4. Mediasi;
5. Konsiliasi,
dan;
6. Arbitrase
7. Jika
penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para
pihak yang bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih
Mekanisme penyelesaian sengketa
konstruksi diantara para pihak lebih menekankan penyelesaian di luar jalur
pengadilan. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa, dimana setidaknya terdapat beberapa keunggulan, yaitu:
Pertama, kerahasian sengketa terjaga.
Kerahasian merupakan suatu keunggulan yang dapat diperoleh ketika menggunakan
jalur di luar pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena proses hingga putusan
penyelesaian sengketa tidak dipublikasikan kepada publik. Keunggulan ini
tentu akan berimplikasi kepada hubungan antara para pihak yang bersengketa
tetap baik, sehingga kelangsungan pekerjaan tetap dapat dilanjutkan.
Kedua, sengketa diputus oleh pihak
penengah (mediator, konsiliator, arbiter) yang mengerti bidang konstruksi.
Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu:
1.
Sengketa berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
2.
Sengketa berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
3.
Sengketa berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan
hasil pekerjaan);
4.
Konflik hubungan dengan orang-orang di dalam industri
konstruksi.
Dalam hal ini, pihak yang
bersengketa dapat bebas memilih pihak penengah yang akan memutus atau memberi
anjuran terkait sengketa yang sedang terjadi. Artinya para pihak dapat memilih
pihak penengah yang memiliki pengetahuan konstruksi. Hal ini tidak terlepas
dari sifat sengketa konstruksi bersifat teknis, sehingga pihak yang menjadi
penengah dapat memutus atau memberi anjuran secara tepat.
Ketiga, jangka waktu relatif singkat.
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki keunggulan secara waktu
dalam penyelesaian sengketa. Artinya, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan
secara cepat daripada penyelesaian melalui jalur pengadilan. Hal ini tentu akan
berimplikasi terhadap kepastian yang akan diterima para pihak yang bersengketa,
seperti: kepastian atas kelangsungan pekerjaan, pembayaran pekerjaan. Kondisi
sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dimana sengketa dapat terselesaikan
dengan tidak mengancam keberlangsungan pekerjaan dan hubungan baik diantara
para pihak.
Jasa konstruksi merupakan entitas bisnis yang
melibatkan banyak pihak. Intinya, jasa konstruksi adalah layanan jasa
konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi,
dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Kota-kota besar
dimana gedung pencakar langit bertebaran pastilah butuh jasa konstruksi. Semakin
kompleks suatu pelayanan jasa konstruksi, semakin besar kemungkinan klaim atau
perbedaan pendapat yang melahirkan sengketa. Misalnya terjadi kegagalan
bangunan. Pengusaha jasa konstruksi tidak berhasil merampungkan pembangunan
gedung sesuai terminasi dan syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu
saja bisa mempersoalkan kegagalan tersebut lewat jalur hukum.
Ada dua jalur yang lazim dipakai untuk
menyelesaikannya: melalui pengadilan umum (gugat perdata) atau di luar
pengadilan. Untuk jalur pertama, lewat pengadilan, jarang sekali terdengar ada
sengketa konstruksi yang masuk ke meja hijau dan mendapat perhatian luas.
Pernah diberitakan bahwa pemerintah Indonesia berniat menggugat perusahaan jasa
konstruksi asal Malaysia, tetapi perkaranya lebih pada pengupahan. Tercatat
pula gugatan Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi terhadap Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah ke
PTUN Semarang, tetapi persoalannya lebih pada tender pengadaan barang dan jasa.
Atau sengketa Firma Biro Konstruksi "Tugas" dengan PT Dwipayana
Semesta mengenai proyek konstruksi di Dumai yang bergulir di jalur kepailitan
(lihat putusan MA No. 018 K/N/2004).
Sinyalemen minimnya sengketa konstruksi yang
menggunakan UU Jasa Konstruksi sebagai acuan ke pengadilan diperkuat
penjelasan Tumpal SP Sianipar. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha
Konstruksi Indonesia (Aspekindo) itu menegaskan bahwa para pengusaha jasa
konstruksi lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pengusaha
lebih mengedepankan musyawarah dengan pihak lain. Sebagai organisasi tempat
bernaung pengusaha jasa konstruksi, Aspekindo acapkali bertindak sebagai
penengah. Aspekindo sering menjadi mediator, ujarnya. Jasa konstruksi merupakan salah satu
bidang yang mengenal alternative dispute resolution. Undang-Undang
No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengatur dalam satu bab mekanisme
penyelesaian sengketa konstruksi. Para pihak yang bersengketa boleh memilih salah satu: pengadilan atau di
luar pengadilan. Pilihan itu tergantung pada kesepakatan sukarela kedua belah
pihak, kata Tumpal.
Jika kedua pihak sepakat menyelesaikan di luar
pengadilan, maka yang bisa ditangani adalah masalah yang timbul dari kegiatan
pengikatan (kontrak), penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan kegagalan
bangunan. Untuk menyelesaikan sengketa demikian, kedua belah pihak bisa
menunjuk pihak ketiga, baik dari unsur Pemerintah maupun Aspekindo. Di
Aspekindo sendiri, kata Tumpal, ada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)
yang bisa berperan sebagai penengah. Penunjukan pihak ketiga sebagai
penengah dapat diatur sebelum pelaksanaan konstruksi berlangsung, dalam arti
pada taraf penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Atau, ditunjuk setelah
terjadi sengketa. Kalau penunjukan dilakukan setelah timbul sengketa, maka
penunjukan pihak ketiga harus dituangkan ke dalam akte tertulis. Undang-Undang
No. 18 Tahun 1999 sebenarnya merujuk mekanisme arbitrase dan model alternative dispute
resolution lainnya. Pada bagian penjelasan pasal 37 ayat (2)
dipertegas lagi bahwa arbitrase yang dipakai bisa berupa lembaga permanen, bisa
pula yang sifatnya ad hoc. Bisa lembaga arbitrase lokal, atau
internasional. Selain arbitrase, UU Jasa Konstruksi tersebut juga memungkinkan
sengketa konstruksi diselesaikan lewat mediasi, konsiliasi, atau bantuan
penilai ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas.
“Prioritas Pembangunan Nasional”, https://www.bappenas.
go.id/files/8213/5027/5942/bab-i-prioritas-pembangunan-nasional.pdf,
diakses tanggal
25 Oktober 2018.
Dalmy Nasution, S.H. 2017. “Tahapan Penyelesaian Sengketa
Konstruksi Pasca Terbitnya Undang-Undang Jasa Kontruksi Nomor 2 Tahun 2017”, https://bplawyers.co.id/2017/08/29/inilah-tahapan-penyelesaian-sengketa-konstruksi-pasca-terbitnya-undang-undang-jasa-kontruksi-nomor-2-tahun-2017/, diakses tanggal 05
Januari 2019
Habibi, Dani.
2017. “Aspek Perpajakan Kegiatan Usaha
Jasa Konstruksi”, http://www.jtanzilco.com/blog/detail/905/slug/aspek-perpajakan-kegiatan-usaha-jasa-konstruksi, diakses
tanggal 05 Januari 2019
H.
Nazarkhan Yasin. 2008. “Mengenal
Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi” ,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20216/cara-pengusaha-jasa-konstruksi-selesaikan-sengketa,
diakses tanggal 05 Januari 2019
Pramono,
Iksan Teguh. 2018. “Prioritas Pembangunan
Nasional Dalam Bidang Infrastruktur Dan Kebijakan Pemerintah Dalam Infrastuktur”
https://iksanteguhpramono.wordpress.com/2018/01/07/prioritas-pembang, diakses
tanggal 05 Januari 2019
Yuniarti, Siti. 2016. “Asuransi
Sebagai Alternatif Mitigasi Resiko Pekerjaan Konstruksi”,http://business-law.binus.ac.id/2016/02/23/asuransi-sebagai-alternatif-mitigasi-risiko-pekerjaan-konstruksi/,
diakses tanggal 05 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar